FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS ANEMIA GIZI BESI PADA SISWI SMU DI WILAYAH DKI JAKARTA
Anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia
dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Public Health Problem).
Di Indonesia prevalensi anemia sebesar 57,1 % diderita oleh remaja
putri, 27,9 % diderita oleh Wanita Usia Subur (WUS) dan 40,1 % diderita
oleh ibu hamil (Herman, 2006). Penyebab utama anemia gizi di Indonesia
adalah rendahnya asupan zat besi (Fe). Anemia gizi besi dapat
menyebabkan penurunan kemampuan fisik, produktivitas kerja, dan
kemampuan berpikir. Selain itu anemia gizi juga dapat menyebabkan
penurunan antibodi sehingga mudah sakit karena terserang infeksi.
Dari aspek kesehatan dan gizi, remaja sebagai generasi penerus
merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian. Jumlah remaja putri
pada umumnya relatif lebih banyak dari jumlah remaja putra dan remaja
putri juga lebih rawan untuk kekurangan gizi dibandingkan dengan remaja
putra. Data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebih dari
separuh remaja putri di Indonesia menderita anemia. Remaja putri secara
normal akan mengalami kehilangan darah melalui menstruasi setiap bulan.
Bersamaan dengan menstruasi akan dikeluarga sejumlah zat besi yang
diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Oleh karena itu kebutuhan zat
besi untuk remaja wanita lebih banyak dibandingkan pria. Dilain pihak
remaja putri cenderung untuk membatasi asupan makanan karena mereka
ingin langsing. Hal ini merupakan salah satu penyebab prevalensi anemia
cukup tinggi pada remaja wanita. Keadaan seperti ini sebaiknya tidak
terjadi, karena masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang membutuhkan
zat-zat gizi yang lebih tinggi (Dep.Kes. 1998)
Banyak faktor yang ikut mempengaruhi kejadian anemia, antara
lain pengetahuan tentang gizi khususnya anemia, tingkat pendidikan orang
tua, tingkat ekonomi, konsumsi zat gizi (protein, Fe, Vit C, Vit A, Cu
dll ), infeksi, kebiasaan, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian diatas, maka diteliti tentang faktor-faktor
apa saja yang berhubungan dengan status anemia gizi besi pada siswi SMU
di Wilayah DKI Jakarta pada tahun 2007. Tujuan umum dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status
anemia gizi besi pada siswi SMU di wilayah DKI Jakarta. Kadar hemoglobin
digunakan untuk menentukan status anemia yang sekaligus sebagai
variabel dependen. Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan
status anemia meliputi: jumlah uang jajan, tingkat pendidikan ibu,
tingkat pengetahuan tentang anemia dari siswi, status infeksi, konsumsi
energi, protein, Fe, Vit C, lama menstruasi, jumlah pembalut.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian Cross Sectional.
SMU yang dijadikan penelitian diambil berdasarkan saran dari Suku Dinas
Kesehatan masing-masing wilayah, dan saran Puskesmas yang ditunjuk
SUDINKES serta kesediaan SMU tersebut. Dari masing-masing wilayah
Jakarta diambil satu SMU sebagai wakil wilayah tersebut. Dari
masing-masing SMU diambil 20 orang siswi secara acak sehingga diperoleh
jumlah sampel dari 5 wilayah Jakarta sebanyak 101 orang.
Pengambilan darah untuk penentuan kadar hemoglobin dilakukan
oleh tenaga analis kimia dari Puskesmas Tebet, Jakarta Selatan,
Puskesmas Rawa Badak Utara, Jakarta Utara dan Puskesmas Cengkareng,
Jakarta Barat. Metode penentuan kadar hemoglogin dilakukan dengan metode
Cyanmethemoglobin, sehingga hanya diperlukan satu tetes darah dari tiap
responden. Data konsumsi diambil dengan metode Food Recall 24 jam,
sedangkan untuk tingkat pengetahuan, lama menstruasi, tingkat pendidikan
dikumpulkan dengan menggunakan daftar pertanyaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Prevalensi anemia gizi pada
remaja putri di 5 wilayah Jakarta adalah 44,6 %. Angka prevalensi ini
tergolong tinggi, karena berdasarkan Temu Karya Anemia Gizi Tahun 1983
prevalensi di atas 40 % adalah prevalensi yang tergolong tinggi dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
ibu dari siswi sebagian besar berpendidikan SMA (40,6 %). Lama
menstruasi yang dialami oleh siswa sebagian besar (55,4 %) tergolong
tidak normal, dengan rata-rata lama menstruasi yaitu 6,5 hari dengan
masa terpendek 3 hari dan terpanjang 11 hari. Rata-rata jumlah pembalut
yang digunakan 15 pembalut dengan jumlah terbanyak 31 pembalut selama
periode menstruasi. Sebagian besar responden mempunyai kebiasaan tidak
mengkonsumsi Vitamin C, tablet tambah darah dan multi vitamin dengan
prosentase masing-masing 87,1 %, 84,6 % dan 93,1 %.
Tingkat konsumsi energi responden berkisar antara 282,40
Kalori/hari sampai 2375,80 Kalori/hari dengan nilai rata-rata 1300,19
Kalori /hari dan SD 408,9. Sebanyak 83,2 % responden konsumsi energinya
masih dibawah 80 % AKG. Sedangkan rata-rata konsumsi protein responden
sebesar 41,55 gr/hari, konsumsi minimal 11,6 gr/hari, maksimum
84,30gr/hari dengan SD 16,6 gr. Jika konsumsi protein dalam penelitian
ini dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), dengan cut off poin
80 % AKG maka didapat sebahagian besar (54,5 %) masih berada < 80 %
AKG.
Dalam penelitian ini didapat sebagian besar responden 81
orang (80,2%) tidak terkena infeksi dan yang terkena infeksi 19,8 %.Dari
mereka yang terkena infeksi jenis penyakit yang terbanyak diderita
adalah demam berdarah 11 orang, typus 7 orang.
Dari hasil temuan penelitian ini disarankan agar
penanggulangan anemia gizi pada remaja putri perlu mendapat prioritas,
antara lain dalam program perbaikan gizi di institusi sekolah yang
dilakukan oleh pemerintah melalui program Usaha Kesehatan Sekolah.