Jumat, 05 Desember 2014

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS ANEMIA GIZI BESI PADA SISWI SMU DI WILAYAH DKI JAKARTA

Anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Public Health Problem). Di Indonesia prevalensi anemia sebesar 57,1 % diderita oleh remaja putri, 27,9 % diderita oleh Wanita Usia Subur (WUS) dan 40,1 % diderita oleh ibu hamil (Herman, 2006). Penyebab utama anemia gizi di Indonesia adalah rendahnya asupan zat besi (Fe). Anemia gizi besi dapat menyebabkan penurunan kemampuan fisik, produktivitas kerja, dan kemampuan berpikir. Selain itu anemia gizi juga dapat menyebabkan penurunan antibodi sehingga mudah sakit karena terserang infeksi.

Dari aspek kesehatan dan gizi, remaja sebagai generasi penerus merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian. Jumlah remaja putri pada umumnya relatif lebih banyak dari jumlah remaja putra dan remaja putri juga lebih rawan untuk kekurangan gizi dibandingkan dengan remaja putra. Data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh remaja putri di Indonesia menderita anemia. Remaja putri secara normal akan mengalami kehilangan darah melalui menstruasi setiap bulan. Bersamaan dengan menstruasi akan dikeluarga sejumlah zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Oleh karena itu kebutuhan zat besi untuk remaja wanita lebih banyak dibandingkan pria. Dilain pihak remaja putri cenderung untuk membatasi asupan makanan karena mereka ingin langsing. Hal ini merupakan salah satu penyebab prevalensi anemia cukup tinggi pada remaja wanita. Keadaan seperti ini sebaiknya tidak terjadi, karena masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang membutuhkan zat-zat gizi yang lebih tinggi (Dep.Kes. 1998)

Banyak faktor yang ikut mempengaruhi kejadian anemia, antara lain pengetahuan tentang gizi khususnya anemia, tingkat pendidikan orang tua, tingkat ekonomi, konsumsi zat gizi (protein, Fe, Vit C, Vit A, Cu dll ), infeksi, kebiasaan, dan lain-lain.

Berdasarkan uraian diatas, maka diteliti tentang faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan status anemia gizi besi pada siswi SMU di Wilayah DKI Jakarta pada tahun 2007. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia gizi besi pada siswi SMU di wilayah DKI Jakarta. Kadar hemoglobin digunakan untuk menentukan status anemia yang sekaligus sebagai variabel dependen. Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia meliputi: jumlah uang jajan, tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan tentang anemia dari siswi, status infeksi, konsumsi energi, protein, Fe, Vit C, lama menstruasi, jumlah pembalut.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian Cross Sectional. SMU yang dijadikan penelitian diambil berdasarkan saran dari Suku Dinas Kesehatan masing-masing wilayah, dan saran Puskesmas yang ditunjuk SUDINKES serta kesediaan SMU tersebut. Dari masing-masing wilayah Jakarta diambil satu SMU sebagai wakil wilayah tersebut. Dari masing-masing SMU diambil 20 orang siswi secara acak sehingga diperoleh jumlah sampel dari 5 wilayah Jakarta sebanyak 101 orang.

Pengambilan darah untuk penentuan kadar hemoglobin dilakukan oleh tenaga analis kimia dari Puskesmas Tebet, Jakarta Selatan, Puskesmas Rawa Badak Utara, Jakarta Utara dan Puskesmas Cengkareng, Jakarta Barat. Metode penentuan kadar hemoglogin dilakukan dengan metode Cyanmethemoglobin, sehingga hanya diperlukan satu tetes darah dari tiap responden. Data konsumsi diambil dengan metode Food Recall 24 jam, sedangkan untuk tingkat pengetahuan, lama menstruasi, tingkat pendidikan dikumpulkan dengan menggunakan daftar pertanyaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Prevalensi anemia gizi pada remaja putri di 5 wilayah Jakarta adalah 44,6 %. Angka prevalensi ini tergolong tinggi, karena berdasarkan Temu Karya Anemia Gizi Tahun 1983 prevalensi di atas 40 % adalah prevalensi yang tergolong tinggi dan merupakan masalah kesehatan masyarakat.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu dari siswi sebagian besar berpendidikan SMA (40,6 %). Lama menstruasi yang dialami oleh siswa sebagian besar (55,4 %) tergolong tidak normal, dengan rata-rata lama menstruasi yaitu 6,5 hari dengan masa terpendek 3 hari dan terpanjang 11 hari. Rata-rata jumlah pembalut yang digunakan 15 pembalut dengan jumlah terbanyak 31 pembalut selama periode menstruasi. Sebagian besar responden mempunyai kebiasaan tidak mengkonsumsi Vitamin C, tablet tambah darah dan multi vitamin dengan prosentase masing-masing 87,1 %, 84,6 % dan 93,1 %.

Tingkat konsumsi energi responden berkisar antara 282,40 Kalori/hari sampai 2375,80 Kalori/hari dengan nilai rata-rata 1300,19 Kalori /hari dan SD 408,9. Sebanyak 83,2 % responden konsumsi energinya masih dibawah 80 % AKG. Sedangkan rata-rata konsumsi protein responden sebesar 41,55 gr/hari, konsumsi minimal 11,6 gr/hari, maksimum 84,30gr/hari dengan SD 16,6 gr. Jika konsumsi protein dalam penelitian ini dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), dengan cut off poin 80 % AKG maka didapat sebahagian besar (54,5 %) masih berada < 80 % AKG.

Dalam penelitian ini didapat sebagian besar responden 81 orang (80,2%) tidak terkena infeksi dan yang terkena infeksi 19,8 %.Dari mereka yang terkena infeksi jenis penyakit yang terbanyak diderita adalah demam berdarah 11 orang, typus 7 orang.

Dari hasil temuan penelitian ini disarankan agar penanggulangan anemia gizi pada remaja putri perlu mendapat prioritas, antara lain dalam program perbaikan gizi di institusi sekolah yang dilakukan oleh pemerintah melalui program Usaha Kesehatan Sekolah.